Laman

Kamis, 14 Juni 2012

I Am Number Five


Entah bagaimana aku menanyakan hal ini kepada ayah. Aku iri dengan teman-teman ku yang dengan bangganya memamerkan kado yang akan mereka berikan kepada ibunya pada hari ibu kelak. Apakah aku memiliki ibu? Itu masih pertanyaan besar.  Ayah tak suka jika aku memanggilnya dengan sebutan “Ayah”. Ayah tak memberi alasannya, belum saatnya katanya. Tapi aku tetap memanggilnya ayah.
Aku selalu berpindah rumah, berganti identitas, tak memiliki akun di jejaring sosial manapun, foto ku tak pernah bisa terlacak oleh browser karena ayah telah memprogamnya. Dan aku pun tak pernah memprotes tantang hal itu. Oiya, dan satu lagi. Kemarin malam aku mendapatkan luka yang ketiga. Ayah semakin cemas dengan luka ku yang kian bertambah. Aku tak membayang kan jika luka itu ada puluhan, seperti apa bentuk tubuh ku kelak? Mengerikan. Penyebab luka ketiga itu lah kini aku dan ayah pindah ke Yogyakarta, Indonesia. Meninggalkan Jepang. Aku pun belum begitu mengerti, luka apa itu.

***

Lily Nasution. Ini nama baru ku, nama Indonesia. Wajah ku cukup keasiaan, jadi tak begitu membuat orang heran dengan keberadaan ku di sini. Yogyakarta tak sedingin Jepang ketika malam, tapi lebih panas dari Jepang disiang harinya. Ketika di Kanada, mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan kulit yang indah di bawah terik sinar matahari saat musim panas. Tapi di sini, sepertinya tidak perlu. Tapi aku suka, aku bisa berkeringat setiap saat sekarang.
Siang ini, sepulang sekolah aku bertemu dengan seorang wanita yang bersandar pada motor besar, dua laki-laki yang berada di mobil pick-up dan seekor anjing yang memamerkan ujung kepalanya keluar jendela mobil. Mereka berjaga diseberang gerbang sekolah ku dan menatap ku dengan tatapan memburu hingga membuat ku curiga. Gerakan kepalanya seiring dengan langkah kaki ku. Tapi pemandangan itu seakan tak asing, ada chemystry tersendiri ketika melihat mereka disana. Dan itu pula yang membuat pertanyaan besar di otak ku.


Dimeja makan malamlah semua terungkap. Aku meminta penjelasan seluas-luasnya kepada ayah. Ayah sudah berjanji sebelumnya akan menjelaskannya setelah tiba di Indonesia. Rasa ingin tahu ku kian memuncak setelah kejadian di kelas karate ku ketika di Jepang.
Mata ku bercahaya, memancarkan sinar lebih tepatnya. Aku tak bisa mengendalikannya, aku hanya bisa berlari ke ruang ganti mencari sesuatu yang bisa meredupkan cahaya itu. Seisi gedung memusatkan pehatiannya pada ku hingga bayangan ku menghilang dari ruang latihan. Dan sepertinya ayah merasakan apa yang sedang terjadi pada ku sore itu. Gerakannya sangat cepat, ayah menyusulku hingga ke ruang ganti. Menenangkan ku. Kata ayah aku hanya perlu fokus dan sedikit mengatur nafas ku, dengan begitu aku bisa mengontrolnya.
“Bumi bukan planet kita” Ayah memulainya. Menghela nafas dan melanjutkannya. “Kita berasal dari Planet Lorien. Bumi adalah rumah kita sementara. Semua berawal dari Mogadorians yang menyerang bangsa Lorien. Sembilan anak dari bangsa Lorien melarikan diri ke bumi dengan satu pelindung setiap anaknya, salah satunya kau, dan akulah pelindung mu. Kitalah terakhir yang tersisa dari bangsa Lorien. Setiap anak diberkati sebuah kekuatan yang sangat berarti agar dapat tumbuh besar. Karena semua tak pernah dapat kesempatan, semua orang dibunuh. Sepertinya Mogadorian sudah mulai melacak keberadaan kita di Bumi. Mogadorian memburu dengan membunuh secara satu persatu. Dan tiga dari kalian telah pergi. Mati. Kau tak mengerti sejarah itu karena ketika melarikan diri kau masih bayi”
“Jadi kau bukan ayah ku?” pandangan ku menyelidik, hanya itu yang bisa aku tangkap.
“Bukan” jawabnya singkat. Setelah itu terjadilah penjelasan panjang lebar yang membuat otak ku berganti kutub. Cukup barat menerimanya.


Keesokannya otak ku masih mengolah informasi dari ayah yang bukan ayah ku. entahlah aku harus memanggilnya apa. Yang terjadi pada mata ku itulah berkat yang aku miliki. Kata ayah secara bertahap aku akan memiliki kecepatan, ketangkisan, kecermatan dari standar normal. Tapi ketika melihat tubuh ku yang tidak sesuai dengan standar subur seperti hanya tulang, kulit dan sedikit daging. Aku meragukannya.
            Tak sesuai aturan. Pagi ini pelajaran olahraga mengadakan sesi pengambilan nilai untuk kecepatan berlari. Tapi sebagian dari mereka memotong rute yang telah ditentukan. Dengan wajah yang tak bersalah dibusungkan dadanya memamerkan keahliannya (berbohongnya). Aku tak suka. Saat giliran ku tiba, mereka menertawakan ku. mereka tahu bahwa aku belum begitu mengenal daerah yogyakarta. Aku harus mengikuti seorang agar aku bisa menemukan garis finish nya. Tapi akhirnya aku bisa membuktikan semuanya. Tanpa memotong rutenya aku bisa sampai lebih dulu. Tapi mereka tetap mengacuh kan ku.
Emosi ku memuncak. Mata ku mulai bercahaya. Tangan ku mengepal. Mereka yang sedang tertawa terhempas oleh pandangan ku. Tapi gerakan itu terhenti ketika ada dua orang yang menahan ku.
“Tahan emosi mu” kata seorang perempuan berambut ikal.
“Jangan memunjukannya kepada sembarang orang.” Lanjut seorang lelaki yang menggenggam lengan kanan ku. Dan mereka menarik ku ke dalam mobil. Aku berusaha menghindar, tapi tenaga mereka lebih kuat. Merekalah nomer empat dan enam. Mereka membawa teman mereka Sam, karena ia ingin bertemu ayahnya yang di bawa komplotan Mogadorian, dan anjing mereka Bernie Kosar. Aku tak kuasa dengan semua yang secara dikit demi sedikit menghujami kenyataan dan pikiran ku yang memang seharusnya aku terima. Seperti ada yang memberitahu dibawah alam sadar ku, akulah nomer lima. Mereka adalah bagian dari ku.
“Mana pelindung kalian?” Aku bertanya mencari.
“Sudah pergi, meninggal” Jawab nomer empat diikuti anggukan nomer enam. Setelah sekian lama kita membicarankan masalah ini bersama. Aku baru menyadarinya. Merekalah yang aku lihat ketika pulang sekolah dulu. Ternyata mereka sudah mengetahui keberadaan ku sedari aku di Jepang. Lalu menyusul ku ke Indonesia. Aku pun membawa mereka ke rumah ku untuk bertemu dengan ayah, atau pelindung ku. Betrand.


Mereka menjelaskan apa yang telah terjadi ketika nomer empat diserang. Mereka berhasil menggalkan kematian nomer empat. Mereka menghimbau untuk segera berkemas, bergerak cepat untuk menemukan bagian dari kita yang lain. Tapi karena aku masih dalam masa remaja aku belum mendapatkan berkat itu seutuhnya, ayah menolak untuk itu. Aku harus mengasah berkat yang aku miliki. Dan mereka pun melatih ku. Tapi sepertinya Mogadorin sudah benar-benar musnah dihabisi oleh mereka. Karena sudah 3 minggu aku berlatih, tak ada tanda-tanda kemunculannya.
Kita pun berencana menemukan 4 yang lain yang masih tersebar di bumi. Aku dan ayah mengikuti permintaan nomer empat dan enam untuk menemukan bagian dari kita yang masih tersebar. Dan kini hanya ada satu kalimat ucapan nomer empat yang berputar-putar dalam ingatan ku. Kita akan kuat jika bersama-sama. Ya, kita memang harus bersama.
           
~***~

Sebuah Cerpen Karya Amaliaka
*Lanjutan Film I Am Number Four