Entah
bagaimana aku menanyakan hal ini kepada ayah. Aku iri dengan teman-teman ku
yang dengan bangganya memamerkan kado yang akan mereka berikan kepada ibunya pada
hari ibu kelak. Apakah aku memiliki ibu? Itu masih pertanyaan besar. Ayah tak suka jika aku memanggilnya dengan
sebutan “Ayah”. Ayah tak memberi alasannya, belum saatnya katanya. Tapi aku
tetap memanggilnya ayah.
Aku
selalu berpindah rumah, berganti identitas, tak memiliki akun di jejaring
sosial manapun, foto ku tak pernah bisa terlacak oleh browser karena ayah telah
memprogamnya. Dan aku pun tak pernah memprotes tantang hal itu. Oiya, dan satu
lagi. Kemarin malam aku mendapatkan luka yang ketiga. Ayah semakin cemas dengan
luka ku yang kian bertambah. Aku tak membayang kan jika luka itu ada puluhan,
seperti apa bentuk tubuh ku kelak? Mengerikan. Penyebab luka ketiga itu lah
kini aku dan ayah pindah ke Yogyakarta, Indonesia. Meninggalkan Jepang. Aku pun
belum begitu mengerti, luka apa itu.
***
Lily
Nasution. Ini nama baru ku, nama Indonesia. Wajah ku cukup keasiaan, jadi tak begitu membuat orang
heran dengan keberadaan ku di sini. Yogyakarta tak sedingin Jepang ketika
malam, tapi lebih panas dari Jepang disiang harinya. Ketika di Kanada, mereka
berlomba-lomba untuk mendapatkan kulit yang indah di bawah terik sinar matahari
saat musim panas. Tapi di sini, sepertinya tidak perlu. Tapi aku suka, aku bisa
berkeringat setiap saat sekarang.
Siang
ini, sepulang sekolah aku bertemu dengan seorang wanita yang bersandar pada
motor besar, dua laki-laki yang berada di mobil pick-up dan seekor anjing yang
memamerkan ujung kepalanya keluar jendela mobil. Mereka berjaga diseberang
gerbang sekolah ku dan menatap ku dengan tatapan memburu hingga membuat ku
curiga. Gerakan kepalanya seiring dengan langkah kaki ku. Tapi pemandangan itu
seakan tak asing, ada chemystry tersendiri ketika melihat mereka disana. Dan
itu pula yang membuat pertanyaan besar di otak ku.
Dimeja
makan malamlah semua terungkap. Aku meminta penjelasan seluas-luasnya kepada
ayah. Ayah sudah berjanji sebelumnya akan menjelaskannya setelah tiba di
Indonesia. Rasa ingin tahu ku kian memuncak setelah kejadian di kelas karate ku
ketika di Jepang.
Mata ku bercahaya, memancarkan sinar
lebih tepatnya. Aku tak bisa mengendalikannya, aku hanya bisa berlari ke ruang
ganti mencari sesuatu yang bisa meredupkan cahaya itu. Seisi gedung memusatkan
pehatiannya pada ku hingga bayangan ku menghilang dari ruang latihan. Dan
sepertinya ayah merasakan apa yang sedang terjadi pada ku sore itu. Gerakannya
sangat cepat, ayah menyusulku hingga ke ruang ganti. Menenangkan ku. Kata ayah
aku hanya perlu fokus dan sedikit mengatur nafas ku, dengan begitu aku bisa
mengontrolnya.
“Bumi
bukan planet kita” Ayah memulainya. Menghela nafas dan melanjutkannya. “Kita
berasal dari Planet Lorien. Bumi adalah rumah kita sementara. Semua berawal
dari Mogadorians yang menyerang bangsa Lorien. Sembilan anak dari bangsa Lorien
melarikan diri ke bumi dengan satu pelindung setiap anaknya, salah satunya kau,
dan akulah pelindung mu. Kitalah terakhir yang tersisa dari bangsa Lorien.
Setiap anak diberkati sebuah kekuatan yang sangat berarti agar dapat tumbuh
besar. Karena semua tak pernah dapat kesempatan, semua orang dibunuh. Sepertinya
Mogadorian sudah mulai melacak keberadaan kita di Bumi. Mogadorian memburu
dengan membunuh secara satu persatu. Dan tiga dari kalian telah pergi. Mati.
Kau tak mengerti sejarah itu karena ketika melarikan diri kau masih bayi”
“Jadi
kau bukan ayah ku?” pandangan ku menyelidik, hanya itu yang bisa aku tangkap.
“Bukan”
jawabnya singkat. Setelah itu terjadilah penjelasan panjang lebar yang membuat
otak ku berganti kutub. Cukup barat menerimanya.
Keesokannya
otak ku masih mengolah informasi dari ayah yang bukan ayah ku. entahlah aku
harus memanggilnya apa. Yang terjadi pada mata ku itulah berkat yang aku
miliki. Kata ayah secara bertahap aku akan memiliki kecepatan, ketangkisan,
kecermatan dari standar normal. Tapi ketika melihat tubuh ku yang tidak sesuai dengan
standar subur seperti hanya tulang, kulit dan sedikit daging. Aku meragukannya.
Tak sesuai aturan. Pagi ini
pelajaran olahraga mengadakan sesi pengambilan nilai untuk kecepatan berlari.
Tapi sebagian dari mereka memotong rute yang telah ditentukan. Dengan wajah
yang tak bersalah dibusungkan dadanya memamerkan keahliannya (berbohongnya).
Aku tak suka. Saat giliran ku tiba, mereka menertawakan ku. mereka tahu bahwa
aku belum begitu mengenal daerah yogyakarta. Aku harus mengikuti seorang agar
aku bisa menemukan garis finish nya. Tapi akhirnya aku bisa membuktikan
semuanya. Tanpa memotong rutenya aku bisa sampai lebih dulu. Tapi mereka tetap
mengacuh kan ku.
Emosi ku memuncak.
Mata ku mulai bercahaya. Tangan ku mengepal. Mereka yang sedang tertawa
terhempas oleh pandangan ku. Tapi gerakan itu terhenti ketika ada dua orang
yang menahan ku.
“Tahan
emosi mu” kata seorang perempuan berambut ikal.
“Jangan
memunjukannya kepada sembarang orang.” Lanjut seorang lelaki yang menggenggam
lengan kanan ku. Dan mereka menarik ku ke dalam mobil. Aku berusaha menghindar,
tapi tenaga mereka lebih kuat. Merekalah nomer empat dan enam. Mereka membawa
teman mereka Sam, karena ia ingin bertemu ayahnya yang di bawa komplotan
Mogadorian, dan anjing mereka Bernie Kosar. Aku tak kuasa dengan semua yang secara
dikit demi sedikit menghujami kenyataan dan pikiran ku yang memang seharusnya
aku terima. Seperti ada yang memberitahu dibawah alam sadar ku, akulah nomer
lima. Mereka adalah bagian dari ku.
“Mana
pelindung kalian?” Aku bertanya mencari.
“Sudah
pergi, meninggal” Jawab nomer empat diikuti anggukan nomer enam. Setelah sekian
lama kita membicarankan masalah ini bersama. Aku baru menyadarinya. Merekalah
yang aku lihat ketika pulang sekolah dulu. Ternyata mereka sudah mengetahui
keberadaan ku sedari aku di Jepang. Lalu menyusul ku ke Indonesia. Aku pun
membawa mereka ke rumah ku untuk bertemu dengan ayah, atau pelindung ku.
Betrand.
Mereka
menjelaskan apa yang telah terjadi ketika nomer empat diserang. Mereka berhasil
menggalkan kematian nomer empat. Mereka menghimbau untuk segera berkemas,
bergerak cepat untuk menemukan bagian dari kita yang lain. Tapi karena aku
masih dalam masa remaja aku belum mendapatkan berkat itu seutuhnya, ayah
menolak untuk itu. Aku harus mengasah berkat yang aku miliki. Dan mereka pun
melatih ku. Tapi sepertinya Mogadorin sudah benar-benar musnah dihabisi oleh
mereka. Karena sudah 3 minggu aku berlatih, tak ada tanda-tanda kemunculannya.
Kita
pun berencana menemukan 4 yang lain yang masih tersebar di bumi. Aku dan ayah
mengikuti permintaan nomer empat dan enam untuk menemukan bagian dari kita yang
masih tersebar. Dan kini hanya ada satu kalimat ucapan nomer empat yang
berputar-putar dalam ingatan ku. Kita
akan kuat jika bersama-sama. Ya, kita memang harus bersama.
~***~
Sebuah Cerpen Karya Amaliaka
*Lanjutan Film I Am Number Four